Kamis, 04 Desember 2014

MATA SETAN (cerpen by Arimbi Yoannira)



MATA SETAN
Aku melihatnya disampingku tepat di kantin kantorku dengan riuh tawa ,mengusik mengganggu jemariku yang beradu dengan keyboard. Seketika menghening .Seketika ia bernyanyi dan bergumam sendiri,melirik layar notebook yang ku kencani menemani makan setengah siang, aku tak menggubrisnya ia meneguk habis botol minumannya. Mendaur ulang dahaga yang tersimpan.
Mata itu mengikuti alunan gerak tubuhku. Melejit menatapku tajam layaknya anak panah dengan seribu bahasa tak terucap yang menelusuri setiap lorong di rimba hati yang sunyi pekat lama tak terinjak. Kali ini seulas senyum kusasarkan seperti granat tapi tatapan mata itu tak berhasil ku ledakkan. Matanya semakin menyala-nyala. Aku ingin lari dari mata itu.
“Hai Rona,aku Surya”
Tak kusangka ia berani bersuara,aku sangat terkejut . Jemari halus tak tersentuh rentengan benda kasar menjulur kearahku. Aku menggigil ingin pergi ,batinku. Tetap saja tangan kita beradu pasti, mungkin dia merasa tidak enak dengan caraku melihatnya. Aku juga.
“Dari mana kau tau namaku?” Tanyaku, sedikit berbasa basi tampaknya tidak begitu sulit.
“Aku menemukanmu seperti cahaya siang yang terik diatas fontanel begitu mudah, Rona Mentari” ucapnya dengan yakin.
“Hahaha” Aku tertawa mendengar bicaranya dan tata bahasanya yang sok pujangga, sepertinya dia hendak memodusiku.
“Hmmp..Surya ya, kedengarannya ‘kokoh’ tapi aku sedang merindukan bulan” balasku dengan nada sedikit bercanda.
“Bulan?,kau hanya akan merasakan persimpangan yang silih berganti” tanyanya lagi yang menjengkelkan.
“Aku percaya pada gerhana” tegasku.
Dia memandangiku sejenak lalu pergi meninggalkan bangku dan sedotan dalam botol minumannya. Aku kembali membuat rentetan kata diatas notebook. Deadline.
Esoknya, senja di persimpangan.
Lalu lalang penduduk berhamburan dengan asap-asap yang mengepul dari kendaraan. Menuju pusat kota. Langkahku beralih mengikuti jejak para penduduk dengan desas desusnya dengan irama keingintahuanku yang bertalu-talu. Puluhan orang berkumpul disana melihat sebuah rumah yang hangus dilalap api. Aku melihat mata itu lagi diantara orang-orang diantara puing-puing yang tersisa. Mata yang mengisyaratkan kepuasan.
“Surya” teriaku lantang . Kali ini dia berlari menghindariku menghilang diantara sesaknya penduduk ,kalut,kebakaran jenggot. Aku sama sekali tak mengenalnya sebelum pertemuan dan jabat tangan d kantin kemarin. Siapa dia? Kurogoh catatan kecilku dari dalam tas. Ini akan menjadi berita yang cukup menarik ketika ku tanya pada seorang warga dan saksi mata perihal kebakaran ini.
           Menurut warga tempat ini diduga lahan perdagangan narkoba namun tak dapat dipastikan siapa pelakunya. Tiga minggu yang lalu aku mendatangi tempat ini demi berita besar yang kucetak di media masa. Artis papan atas terlibat dalam transaksi jual beli narkoba aku sempat mencetak fotonya dan hendak mengirimnya ke redaksi melanjutkan beritaku. Kembali teringat pada foto yang kucetak aku bergegas kembali menuju kantor redaksi dengan langkah cepat dihantui gelisah.
“Surya” aku terbelalak melihat sosok itu ada dalam foto yang kucetak. Ya bersama tokoh papan atas dibelakangnya memang tak tampak jelas .Aku sangat yakin.
“Kring. Kring”
“Halo?”
“Tut,tut,tut”
Belum sempat kudengar suara dari balik telepon. Malam kian menyelinap memasuki rongga waktu bersembunyi dibalik jarum jam yang terus bergerak. Aku masih berkutat dengan pekerjaanku jam 9 malam. Aku ingin pulang,kuhela napas mengusir penat dan gelisah yang menggelayut sejenak kutatap photo yang tergeletak diatas tumpukan kertas-kertas yang memuat tulisan gagalku . Mengapa wajahnya ada disana, mataku mulai memicing sinis membolak balik kertas hingga kumal namun tetap saja tak memberi jawaban. Mengapa pula dia datang ke redaksi tempatku bekerja.

Jam 11 malam ketika rembulan sedang asik bercumbu dengan hawa dingin yang menyusup tulang kupandangi bintang yang sebagian tertutup awan. Aku berjalan gontai dengan ketukan sepatu berhak 5 cm menenteng kertas dengan guratan mata kuyu. Langit yang kulihat hitam membuat uap keluar dari mulutku. Untung saja malam ini hujan belum merindukan tanah bumi.
“Menunggu gerhana?” suara itu tiba-tiba muncul disamping telinga kiriku. Suara Surya, aku terkesiap, kaget.
Mengapa aku harus menunggu gerhana, tidak, kenapa kau bisa ada disini membuatku takut saja?
Aku hanya sedang berjalan-jalan,dimana rumahmu?” tanyanya dengan wajah ceria
“10 menit dari sini dengan berjalan kaki” jawabku seraya mempercepat derap langkah
“Wanita cantik bahaya loh berjalan kaki sendirian”
Sejenak kutatap matanya, dingin terlintas relung sepi yang menggelayuti bola matanya. Ah foto itu.
“Sur,boleh aku bertanya sesuatu padamu? Ini soal..”
“Soal matematika? Oh bukan ya, pasti soal kenapa aku tahu namamu. Ya iyalah aku melihat kalung tanda pengenalmu” Surya terkekeh. Pandangannya ditenggakan pada langit malam itu, tampak resah.
“Rona,sepertinya aku harus pergi sekarang maaf tidak mengantarmu pulang”
Tak sempat kuselesaikan kalimatku Surya pergi dari hadapanku melambaikan tangan ke samping trotoar menghentikan laju mobil biru berlambangkan burung kecil sebut saja taksi, dengan tergesa-gesa ditutupnya pintu mobil.
“Hei, dasar cowok aneh datang tak di undang pulang tak diantar” aku berteriak
“Nanti aku akan menghubungimu,aku janji, see you” dari dalam taksi ia melambaikan tanganya dan membalas teriakanku.
Taksi itu melesat cepat jalan memang sepi malam ini,hening dan berdebu yang ramai hanya lampu-lampu dari bilik pertokoan cahayanya bercumbu dengan angin yang menyelinap melalui mantelku. Aku kembali melangkah gontai.
“Kring,Kring”
Nomer telepon yang dirahasiakan. Siapa?
“Hallo”
“Rona?”
“Ya,siapa disana dan ada perlu apa?”
“Aku surya”
Tiba-tiba angin kencang mengibaskan rambut panjangku,beberapa lampu penerang jalan didepanku mati. Aku merasa dibuntuti seseorang dibelakangku namun aku hiraukan.
“Surya? Dari mana kau tau nomerku”
“Angin yang berbisik padaku”
“Ah kau ini ada-ada saja”
“Benar,kau sudah sampai rumahmu?”
“Belum,aku masih dijalan. Kau cepat sekali meneleponku baru saja aku melihat kau pergi”
“Rona, hati-hati”
“Tentu,aku selalu berhati-hati”
“Tidak,hati-hati”
“Maksudmu?”
“Tut,tut,tut”
Sinyal dalam handphone yang kudapat sangat buruk. Rasa cemas mulai menghantuiku,aku tak mengerti. Penasaranku belum terjawab,aku tak dapat menghubunginya aku hanya dapat menunggu dihubungi lagi. Kulambaikan tangan yang menggenggam handphone jauh-jauh ke langit berharap sinyal kembali merasuki layar handphone tua. Melompat-lompat hingga kakiku tergelincir diatas aspal di dekat rimbunan pohon-pohon. Dan,
“Ckiiit”
Tubuhku tergeletak tak sedetikpun dapat kugerakan aku hanya dapat merasakan tangan seseorang yang dingin menyentuh pipiku,dalam samar-samar seorang pria mencoba menyadarkanku seseorang dengan mata itu. Kudengar suara kerumunan orang-orang, senyap ,semakin senyap dan hilang. Aku tak dapat merespon sama sekali mencoba melihat dalam keremangan lalu gelap tapi aku masih merasakan tangan dingin. Dingin yang membuatku merasa lebih tenang,tak ada rasa sakit disana aku terbuai dalam kenyamanan layaknya mimpi tengah malam  di tepian gunung seraya menghela napas panjang lalu menghirup udara yang menyatu dengan embun pagi mata yang dimanjakan dengan sunrise. Namun kabut hitam dengan seperangkat gelegarnya membawa seseorang ,matanya menyala-nyala,merah melotot seperti setan sekujur tubuhnya hangus tangannya yang terbakar meraih-raih tubuhku hendak menjatuhkanku mendorongku hingga aku tergelincir dari tepian gunung. Aku ketakutan, sungguh tapi sosok itu semakin mendekatiku. Semakin aku takut tangannya semakin mendekat hingga akhirnya aku melihat kedalam matanya tanpa lisan terucap aku terhipnotis kedalamnya. Tangannya menyentuh pipiku dingin yang kukenali.
“Surya,kau kah itu?”
“Pulanglah,kembalilah Rona”
Bisiknya pelan. Entah apa yang kini kurasa aku tak ingin kembali aku terus melihat kedalam matanya aku terus menelusuri memori yang tersirat terbaca tapi tak dapat kupahami dengan nalarku aku hanya bisa merasakan tanpa bisa berfikir. Tubuhnya memeluku erat seperti magnet yang bertemu dengan kutub utara dengan kutub selatan erat merekat,tarik menarik.
“Kembalilah, semuanya belum selesai”
“Aku akan menunggu gerhana disini,ini tempatku dimana mentari begitu dekat”
“Tidak akan ada gerhana kau terlalu jauh melangkah melewati batas waktu”
“Surya”
Aku melihat tubuhnya yang terbakar berubah menjadi bercahaya utuh seperti bayi yang terlahir ke bumi tanpa dosa,halus dingin yang menentramkan. Matanya menyejukan, tubuhnya semakin memeluk erat aku menyentuh pipinya langit berubah jingga aku masih disana tak ingin pergi. Aku tak tau asalku. Mulaku. Kemana tempatku kembali yang dimaksud. Hingga aku merasakan sesak dalam pelukannya. Dia bergumam menyebutkan namaku.
“Rona,rona”
Aku sesak. Sesak .Sulit bernafas tubuhku kaku tapi aku dapat mendengar suara itu. Pandanganku gelap.
“Rona”
“Surya?”
“Alhamdulillah,rona akhirnya kamu ..” dengan isak tangis dan haru seorang pria tersenyum padaku.
“Dani, aku dimana?”
“Rona,kamu sudah sadar nak?”
“Ibu?”
“Ka Rona”
“Rani?”
Mereka semua tersenyum melihatku Dani teman satu kantorku sahabatku sejak kecil menggenggam tangan kiriku terlihat lelah dibalik senyumannya. Ibu tak berhenti membaca ayat suci disamping telingaku,membaca hamdalah berulang-ulang seraya mengusap-usap keningku. Rani adiku memandangiku rindu aku merasa meninggalkan tawa bersamanya lama sekali. Hari itu dimana gerhana matahari muncul dokter dan suster menghampiriku. Menceritakan padaku kejadian dua tahun lalu. Ya dua tahun, selama itu aku terbaring koma di ranjang rumah sakit akibat kecelakaan mobil yang menghantamku malam hari sepulang dari kantor, usai bertemu Surya. Surya,siapa Surya?
“Rona, aku mendengar kau menyebut nama laki-laki saat kau sadar,siapa dia lalu apa yang kau rasakan dalam tidur panjangmu?”
Dani terus bertanya padaku tanganya tak diam mencoba terus menyuapiku bubur tak puas rasanya jika belum masuk melewati kerongkonganku. Aku terdiam sejenak,mencoba mengingat kembali. Hampir hilang sebagian memoriku.
“Dani,maaf aku lupa”
“Sebelum kecelakaan terjadi aku melihat sesuatu yang ganjil tentangmu. Dikantin kau berbicara sendiri tersenyum sendiri dan kau kerap kali menyebutkan nama Surya, maaf aku begitu memperhatikanmu meski tak kamu pedulikan, malam harinya aku begitu khawatir dan memutuskan untuk membuntutimu sebelum mobil melaju kencang dan menabrakmu,saat itu aku berlari kearahmu dengan penuh kecemasan dan rasa takut aku merasa bersalah membiarkanmu sendirian,aku sangat takut tak dapat berbicara lagi denganmu”
“Benarkah itu yang terjadi? Aku tak tau soal itu.”
“Lupakan,satu suapan lagi kita kembali kerumahmu,pasti kau sangat merindukan kamarmu”

Dalam perjalanan pulangku. Seperti melihat dunia baru banyak yang berubah sebagian taman telah menjadi rumah. Pusat kota dan pertokoan sedang dibangun menjadi mall. Namun kulihat dari balik jendela mobil tempat yang kukenali,pernah kusinggahi,pernah kujadikan berita disana. Aku mengingatnya puing-puing yang terbakar hangus.
“Ada apa Rona?”
“Dani,tempat itu?”
“Oh itu, dulu tempat itu dibakar oleh seorang polisi beritanya dimuat dikoran tak lama setelah beritamu.Namun sayang polisi itu ikut menjadi korban kabarnya polisi itu dihajar habis-habisan sebelum ada yang menolongnya. Yang tak habis pikir kenapa polisi itu membakar tempat itu ya,apa tidak ada cara lain. Ah aku tak peduli. Lagipula itu sudah lama terjadi”
“Aku ingin ke kantor,sekarang!”
“Tapi Rona,kamu masih lemah”
“Please Dan,sekarang aku perlu tahu sesuatu mengenai kejadian ini”
Aku mengobrak-abrik koran di kantor redaksiku. Aku menemukan sosok berseragam coklat mengenakan pangkat aku begitu mengenali matanya aku yakin dia Surya. Mata itu bukan mata setan mata itu mata malaikat mata itu yang membawaku kembali. Air mataku membendung di pelupuk hingga jebol membanjiri pipiku.
“Dani,aku tau siapa Surya”
Dani menatapku dan memeluku erat.

Bandung, 26 januari 2014
Oleh : Arimbi Yoannira

CINTA RASA ICECREAM (cerpen by Arimbi Yoannira)



CINTA RASA ICE CREAM
by: Arimbi Yoannira
“Datanglah kemari,aku menunggumu disini”

Samar-samar kuintip layar handphone yang semalaman kutimbun dalam bantal,kurogoh dalam penat,dalam kantuk yang masih menyisakan mimpi dan kecewa semalam. Kubaca pesanmu sekali lagi. Pagi buta di awal Januari.
Ini hari ulang tahunku haruskah aku menemuimu?

“Selamat ulang tahun,selamat ulang tahun”

Kutatap silau lilin-lilin yg berjajar rapih diatas blackforest, aku hanya menyunggingkan seulas senyum terharu pun tidak. Tapi permohonan yang kubuat sesaat sebelum kutiup habis lilin-lilin kecil benar benar kulakukan dengan penuh hikmat.

“Aku sudah siapkan kado ini untukmu maaf aku tak membungkusnya aku ingin kau langsung mengenakannya”

Dadaku kian sesak penuh tanya dan rasa kecewa. Bukan tentang apa yang kau beri tapi tentang hati yang tak pasti.

“Trimakasih, aku pakai sekarang ya”

“Aku tau kau akan senang menerimanya Sa”

Kau mencium dahiku aku tak bergeming hanya air mataku tiba-tiba menetes melewati pipi dan jatuh di kerah bajuku. Sekali lagi aku tak terharu. Ini awal bulan Januari hujan akan terus mengguyur kota kecil kita yang dingin dan sunyi. Sepasang sarung tangan coklat muda kado pertama darimu di sweet seventenku mungkin akan lebih berguna dibanding setangkai mawar putih atau ucapan maaf sisa-sisa tahun baru.

Setahun yang lalu

“Sa, aku memberikan Zahra gaun putih cantik ditambah bucket mawar merah besar yang aku taruh dibangkunya,di keranjang sepedanya,di depan pintu rumahnya dan kamu tau Sa aku memesan cake besar bertuliskan I love u Zahra first n last for me aku menyiapkannya dari sore hari hingga aku memberikannya tepat di tengah malam ,gimana romantis kan Sa?”

“Al, kamu tidak menghabiskan uang bulananmu kan?”

“Itu masalahnya Sa aku menemuimu untuk membantuku , lagipula aku akan senang jika melihat Zahra senang aku tak peduli seberapa banyak yang kukeluarkan asalkan itu membuat Zahraku senang.Pinjami aku seratus ribu saja”

Dengan wajah memelas, idung yang mancung mata bundar Alif teman sejak aku sekolah dasar menggenggam tanganku dan memohon. Aku selalu merasa kasihan dengannya aku tau Zahra tidak mencintai Alif sebagaimana Alif mencintai Zahra tapi apa dia akan percaya padaku sedang cinta disana telah membabi buta,membuat penghuni hatinya meratu disana di istana yang polos dan diam kini terkoyak cinta masa remaja.

“Sa,Zahra Sa ,alergi dia kambuh aku harus membawanya ke klinik “

“Berapa?”

“Kau punya uang berapa?”

“Aku tidak punya uang Al, kau tau sekarang musim hujan kedai Ice cream kami sepi pengunjung dan aku ini hanya seorang siswa bukan pengusaha,tabunganku setiap bulannya dipinjami olehmu demi Zahra,Zahra,Zahra sadarlah saat kau sakit apa dia mengurusimu? Tidak kan? Lantas siapa? Aku.”

“Tisa”

Hening. Aku diam Alif diam dia meraih bangku di dekatku. Diluar hujan deras kau berlari menuju kedai Ice Cream yang kujaga tanpa memikirkan dirimu sendiri sepatu kuyup bercecer pada lantai keramik pakaian yang lusuh rambut basah klimis penuh peluh yang bercampur tetesan hujan. Aku tak mengerti seberapa kuatnya cinta hingga kau lupa.Ya, karna aku tak pernah merasa mencintai dan dicintai. Hanya kasihan padamu Alif.

“Aku tidak punya uang tapi ambilah Ice Cream ini jika kau dapat menjualnya sebelum senja kau akan dapat rupiah“

“Sa,Kau memang selalu baik padaku”

“Sudahlah, keringkan dulu rambutmu”

Kulihat dari luar jendela Alif begitu bersemangat menawarkan Ice Cream ditengah gerimis dia bersusah payah mendapatkan rupiah untuk Zahra. Ah, apakah ada sosok pria seperti Alif menjadi kekasihku.

Awal desember

“Sa, Zahra putus denganku dia mengaku jadian dengan mahasiswa tekhnik sebulan yang lalu”

“Apa dia bahagia?”

“Sepertinya iya. Aku sadar cinta tak selamanya dapat digenggam dan aku sadar bahwa kau yang selalu menggenggamku”

“Maksudmu?”

“Sa, sadarlah kau ini mencintaiku untuk apa selama ini kau membantuku?

“Aku tak mengerti. Mungkin kau benar Al tapi tidak denganmu”

“Akupun Sa, orang pertama yang selalu kucari dan ku butuhkan hanya kamu”

“Tidak”

“Percayalah”

“Tapi kau tidak pernah berjualan Ice Cream demi mengembalikan uangku”

“Aku akan melakukannya. Jika sebelum senja habis kau harus jadi pacarku”

Dua jam saja Alif menjual habis. Aku tertegun aku tak mengerti apa yang dikatakannya soal cinta tapi aku menghargai usahanya. Seperti Ice cream rasa baru ingin kau coba meski tau Ice Cream tetaplah dingin. Hari itu dimana cinta Alif pada Zahra dibekukan dan akulah yang akan melelehkan kepingan hatinya yang beku. Entah apa yang terlintas saat itu aku hanya ingin menyelamatkan hati Alif yang rapuh. Aku menyesal membiarkannya berlarut mesra dengan Zahra . Mengapa bukan aku saja yang sejak dulu dipersatukan dengan Alif . Aku tidak berniat memanfaatkannya aku hanya ingin mengenal apa itu cinta dan aku ingin membantunya. Kenalkan aku pada cinta seperti cinta yang kau berikan pada Zahra. Tidak, aku ingin merasakanya lebih dari itu.

Akhir Desember

Tengah malam ini tidak seperti taun baru sebelumnya hujan mengguyur deras kota kecil kita. Sweat seveten. Aku menunggu kehadiranmu disini di muka halamanku membawa setangkai mawar putih atau 2 kembang api pengantar pergantian tahun dengan senyum hangat yang kubayangkan dan kau menyanyikan lagu selamat ulang tahun di pintu rumahku .

Alif jelaskan padaku apakah cinta itu berbeda rasa seperti Ice Cream yang kau jual untuku demi hutangmu atau untuk Zahra yang kau jual dengan tulus. Apakah cinta untuk Zahra rasa vanila putih manis lembut dan cinta untuk Tisa rasa coklat dengan potongan kacang . Apakah jika aku tidak meminta setangkai mawar putih apakah kau tidak akan memberikannya untukku? Seperti kau memberikan bucket mawar merah besar pada Zahra .

“Alif ini jam satu malam”
Kulirik layar handphone lalu menimbunnya di bawah bantal .Alif tengah malamku berakhir kantuk mulai menjalar dari ujung kaki hingga ubun-ubun tubuhku hendak tertidur pulas. Aku tak menunggu ucapan selamat tahun baru ataupun selamat ulang tahun darimu bahkan aku berhenti mengharapkan setangkai mawar putih. Setangkai saja dibalut cinta rasa ice cream vanila.